Yogyakarta, 20-12-2015
Beberapa dekade terakhir ini isu-isu mengenai lingkungan seperti
pemanasan global, perubahan iklim, dan bencana-bencana akibat rusaknya
lingkungan menjadi perhatian umat manusia di penjuru dunia. Seperti yang baru
usai beberapa hari yang lalu, yaitu konferensi Perubahan iklim di Paris, Perancis
30 November – 13 Desember 2015. Konferensi ini diikuti hampir seluruh negara
dibelahan bumi yaitu 195 negara. Dalam konferensi paris ini tercapai satu
kesepakatan yang disebut sebagai Paris Agreement (kesepakatan Paris)
yang diyakini bisa mengatasi perubahan iklim yang semakin ekstrim belakangan
ini.
Kesadaran untuk saling bekerjasama dan bergotong-royong mengatasi masalah lingkungan merupakan
satu tindakan yang benar dan sudah semestinya dilakukan karena isu-isu lingkungan;
pemanasan global, perubahan iklim, pencemaran udara dan lain sebagainya
bukanlah isu yang bisa dikotak-kotakkan dan disekat-sekat berdasar batas-batas
negara, karena lingkungan, iklim, dan udara tidak bisa disekat-sekat dan
dibatasi antar negara, isu ini adalah isu global yang harus dijawab dan diatasi
bersama oleh setiap negara diatas bumi ini.
Mengenai isu
linkungan ini, Indonesia yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia juga tidak
terlepas dari masalah lingkungan yang belakangan menjadi semakin kompleks. Isu
terakhir yang masih hangat dan segar diingatan adalah isu mengenai kabut asap
yang menimpa disebagian wilayah Sumatra dan Kalimantan. Asap yang tidak
mengenal batas-batas negara bahkan sampai menyebrang ke negara-negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura bahkan sampai ke Thailand, karena seperti yang
sudah disebutkan diatas bahwa isu-isu lingkungan bukanlah isu nasional dalam
negeri suatu negara melainkan isu global.
Bencana asap tersebut bermula dari kebakaran hutan dan lahan
(karhutla) terutama akibat pembakaran lahan gambut. Sudah bukan rahasia umum
lagi bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan tersebut disebabkan oleh
tangan manusia, terutama manusia-manusia (perusahaan-perusahaan) serakah yang
dengan sengaja membakar hutan dan lahan supaya nantinya dapat ditanami tanaman
baru terutama kelapa sawit yang bernilai jual tinggi terutama untuk pasar
ekspor. Tindakan ini adalah tindakan yang salah dan sangat tindak bertanggung
jawab dengan dalih untuk penghematan biaya produksi, mereka seolah menghalalkan
segala cara. Bersumber dari data BNPB sebagaimana dikutip dari Republika Online bahwa 99%
kebakaran hutan dan lahan akibat ulah manusia. BNPB
punya data lengkap bahwa yang melakukan pembakaran itu perusahaan. Data-datanya
jelas, perusahaan apa saja yang terlibat di dalamnya. Terang saja mereka
melakukan pembakaran hutan yang tak terkontrol. Biaya pembukaan lahan dengan
cara dibakar hanya membutuhkan Rp 600-800 ribu per hektare, sedangkan tanpa
membakar butuh Rp 3,4 juta per hektare untuk membuka lahan.
Masih bersumber data
dari BNPB sebagaimana dikutip dari Republika Online, disebutkan bahwa
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pada Juni hingga Oktober 2015 memakan
kerugian finansial hingga Rp 221 triliun. Dampak Lainnya, terdata 24 orang
meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan
Atas (ISPA), 60 juta jiwa terpapar asap dan sebanyak 2,61 juta hektare hutan
dan lahan terbakar.
Eksploitasi alam yang berlebihan oleh manusia untuk mendapat
keuntungan pribadi semata sungguh tidak sesuai dengan ajaran islam. Islam menekankan bahwa Allah SWT mengajarkan di dalam
Al-Quran bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi, tidak hanya untuk
memikirkan kepentingan dirinya, kelompoknya atau bangsanya saja, tetapi ia juga
harus memikirkan kemaslahatan semuanya, termasuk alam dan lingkungannya. Sebenarnya,
Kita harus menyadari bahwa semua makhluk hidup
di muka bumi ini hidup serba ketergantungan antara satu dengan lainnya.
Tanaman, hewan dan kekayaan alam lainnya butuh perawatan dan pelestarian oleh
manusia agar keberlangsungan hidupnya terjaga dengan baik, sebaliknya manusia
juga memerlukan kekayaan alam untuk bertahan hidup di muka bumi. Jadi, hubungan
kita dengan alam bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan).
Karenanya keseimbangan dan keserasian perlu dijaga agar tidak terjadi
kerusakan.
Oleh karena itu pemanfaatan lingkungan/alam ini
tidak boleh semena-mena dan sekehendak nafsu pribadi semata, melainkan harus
mengedepankan kelestarian dan keberlangsungan alam itu sendiri. Memang benar,
Allah menciptakan alam ini untuk kepentingan manusia, untuk memenuhi kebutuhan
manusia tetapi dalam pemanfaatanya harus dengan kearifan dan proporsional.
Allah swt sudah Malarang dan memperingatkan dalam Al-Quran :
" Dan janganlah kalian membuat kerusakan di
atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo'alah kepada-Nya dengan
rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat
Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik". (al-A'raf:56)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang
benar” (QS. Ar-Ruum: 41).
Dari dua ayat diatas jelas bahwa Allah telah
melarang umat manusia untuk berbuat kerusakan di atas muka bumi ini, dan Allah
akan menurunkan azab (bencana) di bumi bila manusia yang telah diberi amanah
tidak mampu menjalankan amanah sesuai ketentuanNya.
Manusia sebagai khalifah Allah dimuka bumi yang
berarti wakil Allah dimuka bumi, wajib untuk merepresentasikan kehadirannya
(eksistensinya) untuk menjaga dan mengurus bumi ini agar tetap lestari
sebagaimana Allah swt telah menganugerahkan bumi ini dalam keadaan dan bentuk
yang sebaik-baiknya. Artinya, manusia diberikan amanah untuk menjaga
keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan seluruh makhluk Allah dengan
memanfaatkan segala potensi alam yang ada dengan sebaik-baiknya tanpa merusak
dan hal ini sekaligus akan menjaga keberlanjutan kehidupan manusia itu sendiri.
M.A (20-12-2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar